S.Soedjojono, kritikus seni rupa Indonesia (www.googleimage.com) |
Kritikus seni adalah orang yang melakukan kritik terhadap karya seni orang lain atau dirinya
sendiri (self-critic). Idealnya seorang kritikus harus memiliki
ketajaman dan sensibilitas indera, pikiran dan perasaan. Ketajaman dan
sensibilitas tersebut terintegrasi dalam satu kapasitas reasoning dan creative,
jika dilandasi :
1.
keilmuan dan pengetahuan yang relevan;
2.
pengalaman yang memadai dalam dunia pergaulan
materi kritik ;
3.
menguasai
media kritik (kebahasaan yang efektif dan komunikatif);
4.
menguasai
aplikasi metoda kritik yang optimal.
Landasan keilmuan (dan pengetahuan) yang relevan
akan membantu pekritik dalam mengupas persoalan kekaryaan seni rupa. Misalnya
sejarah seni rupa (history of art) baik perkembangan senirupa Barat (Western
Art) maupun seni rupa Timur (Eastern Art). Ilmu sejarah akan
memberikan jalan wawasan tentang waktu (time) dan ruang (space)
kekaryaan seni rupa. Dengan mempelajari perkembangan seni rupa di setiap
pelosok dunia, maka luas bahan (scope) sebagai dasar pemikiran dan acuan
arah komparasi menjadi lebih terbuka. Selain sejarah seni rupa, wawasan teori
seni juga penting dimiliki oleh kritikus. Teori seni meliputi ilmu seni,
filsafat seni, unsur seni, antropologi seni, sosiologi seni, tinjauan seni
modern dan kontemporer, dan lain-lain. Keilmuan akan memberi pijakan dan
memperkokoh konstruksi kritik yang obyektif. Sehingga mata pisau kritik semakin akurat, dan memberi pula
wawasan kepada publik seni dengan keyakinan yang kuat.
Seorang pengkritik seni
rupa tidak selalu harus seorang perupa, namun ilmu kesenirupaan harus
dimilikinya. Pengalaman dan pergaulan dalam mengamati, menyelidiki, dan
membandingkan kekaryaan seni rupa sebagai prasyarat yang tidak bisa dilepaskan
dari seorang pekritik seni rupa. Pengamatan terhadap perkembangan seni rupa
masa lalu (dari prasejarah ) hingga fenomena seni rupa masa kini akan memberi
warna yang serasi bagi karya kritik seni rupa. Begitupun upaya menyelidiki dan
membandingkan kekaryaan seni rupa antar berbagai keberadaan seni rupa sangat
membantu memperluas dan memperkaya cakrawala kritik.
Sering dijumpai seorang kritikus seni lukis,
misalnya, yang mengupas karya seni lukis, tetapi kupasannya memberikan gambaran
yang keliru. Hal ini umumnya disebabkan oleh faktor pengalaman, pengetahuan dan
wawasan yang kurang memadai. Tidak mungkin seseorang mengkritik lukisan, jika
ia tidak mengetahui medium lukis, proses melukis, dan sebagainya. Menggeluti
dunia sasaran kritik merupakan tugas seorang pekritik. Tidak hanya memahami
kekaryaannya, pekritik juga sebaiknya memahami pikiran, perasaan seniman penciptanya.
Biografi dan kehidupan seniman tidak lepas dari pengamatan pekritik.
Media kritik yang utama
adalah bahasa. Bahasa pekritik harus efektif dan komunikatif, baik lisan maupun
tulisan. Bahasa yang efektif adalah bahasa yang mengacu pada aspek tata bahasa
yang baik dan benar, serta tepat guna, sesuai sasaran publik yang kita tuju.
Bahasa yang komunikatif adalah bahasa yang mudah dicerna oleh sasaran
baca/dengar (audiens), sesuai tingkat intelektualnya.
Gaya bahasa kritikus diselaraskan dengan
tipe kritiknya. Gaya bahasa jurnalistik akan berbeda dengan tipe akademik. gaya
jurnalistik memiliki sasaran pembaca yang relatif meluas, beraneka latar
belekang ilmu dan tingkat intelektualnya. Sedangkan tipe akademik memerlukan
gaya yang lebih ilmiah, sebab sasaran pembaca/pendengarnya adalah sekelompok
orang akademisi.
Metoda kritik adalah serangkaian prosedur (tata
cara, etika) yang disesuaikan dengan tipe kritiknya. Misalnya, metoda kritik
jurnalistik menggunakan tata cara jurnalis. Begitupun metoda kritik akademik
menggunakan tata cara akademis yang dikembangkannya.
Rangkuman
Nah, setelah anda mempelajari mengenai aspek-aspek kritik seni rupa selanjutnya kita buat ringkasan secara seingkat mengenai kritik seni rupa. Kritik seni merupakan kegiatan menanggapi karya seni
untuk mempertumbuhkan kelebihan dan kekurangan suatu karya seni. Kegiatan
kritik berawal dari kebutuhan untuk memahami kemudian beranjak kepada kebutuhan
memperoleh kesenangan dari kegiatan berbincang-bincang tentang karya seni.
Menurut Feldman (1967) terdapat 4 (empat) jenis kritik seni, yaitu kritik
jurnalistik (journalistic criticism), kritik populer (popular criticism),
kritik pedagogik (pedagogical criticism), dan kritik akademik (scholarly
criticism).
Pemahaman terhadap keempat tipe kritik seni dapat
mengantar nalar kita untuk menentukan pola pikir dalam melakukan kritik seni.
Setiap tipe mempunyai ciri (kriteria), media (alat : bahasa), cara (metoda),
pola berpikir, sasaran, dan materi yang tidak sama.
Berdasarkan titik tolak atau landasan yang
digunakan, dikenal beberapa bentuk kritik sebagai berikut : (1). Kritik
Formalistik, kajian kritik terhadap karya seni sebagai konfigurasi aspek-aspek
formalnya atau berkaitan dengan unsur-unsur pembentukannya. (2). Kritik
Espresivistik, menilai dan menanggapi gagasan dan perasaan yang ingin
dikomunikasikan oleh seniman dalam sebuah karya seni. (3). Kritik
Instrumentalistik, sebuah karya seni dilihat kemampuananya dalam upaya mencapai
tujuan, moral, religius, politik atau psikologi.
Kegiatan dalam Kritik Karya Seni Rupa secara umum
mengikuti tahapan sebagai berikut: (1). Deskripsi, (2). Analisis formal, (3).
Interpretasi, dan (4). Evaluasi atau penilaian,
Fungsi kritik seni yang pertama dan utama ialah
menjembatani persepsi dan apresiasi artistik dan estetik karya seni rupa,
antara pencipta (seniman, artis), karya,
dan penikmat seni. Arus komunikasi antara karya yang disajikan kepada penikmat
(publik) seni membuahkan interaksi timbal-balik dan interpenetrasi keduanya.
Fungsi lain ialah menjadi jalan strategis bagi seniman dan penikmat untuk
berkomunikasi.
Kritikus atau kritisi ialah orang yang melakukan
kritik terhadap karya seni dan budaya orang lain atau dirinya sendiri (self-critic).Ketajaman
dan sensibilitas kritikus terintegrasi dalam satu kapasitas reasoning dan
kreatif, jika dilandasi : (1). keilmuan dan pengetahuan yang relevan;
(2). pengalaman yang memadai dalam dunia pergaulan materi kritik;
(3) menguasai media kritik (kebahasaan yang efektif dan komunikatif);
(4) menguasai aplikasi metoda kritik yang optimal.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus